Opini Prof. Badri Munir Sukoco: Memulihkan Kepercayaan Publik (Harian Kompas, 27 Maret 2023)

Memulihkan Kepercayaan Publik

Badri Munir Sukoco
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga

https://pasca.unair.ac.id/badri-sukoco

Harian Kompas – 27 Maret 2023
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/23/memulihkan-kepercayaan-publik

Berita negatif terkait lembaga negara dalam setahun terakhir silih berganti. Pengadilan memutuskan menghukum petinggi POLRI terkait pembunuhan berencana, dan kasus narkoba masih disidangkan. Tidak lama kemudian, 2 hakim agung tertangkap kasus penyuapan oleh KPK. Dampaknya, kepercayaan publik menurun. Laporan Transparency International Januari lalu menunjukkan Indonesia hanya menempati posisi ke-6 di ASEAN pada Corruption Perception Index (CPI) tahun 2022. Tertinggi adalah Singapura (#5), diikuti Malaysia (#61), Timor Leste (#77), Vietnam (#77), Thailand (#101), dan Indonesia (#110).

            Sebulan terakhir, pemberitaan didominasi meningkatnya kekayaan tidak wajar beberapa pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan. Bahkan ketidakwajaran nilai transaksi tindak pidana pencucian uang mencapai Rp. 300 triliun, menurut Menkopolhukam. Jumlah tersebut dikarenakan melibatkan ratusan pegawai dari beragam kementerian dan lembaga lain dalam 14 tahun terakhir.

            Tentu menarik melihat bagaimana publik bereaksi. Secara umum, survei Litbang Kompas menunjukkan penurunan kepuasan publik pada kinerja pemerintahan dibandingkan awal tahun lalu. Bahkan indikasi korupsi pada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sampai memunculkan ajakan untuk tidak membayar pajak.

Bagaimana seharusnya pemerintah memulihkan kepercayan publik?

Korupsi dan Kepercayaan Publik

Lima dekade terakhir menunjukkan peran penting kepercayaan publik (sosial) pada pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa negara maju memiliki masyarakat yang mempercayai satu sama lain (interpersonal trust) dan mempercayai pemerintahannya (institutional trust) – high trust society. Kebalikannya, negara berkembang dikarakteristikkan sebagai low trust society.

Dari beragam studi yang dilakukan, kepercayaan sosial dapat menjadi modal untuk menumbuhkan perekonomian. Studi Kalish dkk. (2021) menunjukkan naiknya GDP sebuah negara bila 50% populasi saling mempercayai satu sama lain. Khusus Indonesia, peningkatan GDP-nya hingga 2,3% (setara dengan +Rp. 374 triliun). Kepercayaan publik juga akan memperkuat tata kelola pemerintahan yang demokratis dan efisien. Adapun pada level mikro, kepercayaan publik akan mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan inovasi pada produk yang dihasilkan.

Penyebab utama turunnya kepercayaan publik, khususnya institutional trust, adalah korupsi. Terdapat 2 pandangan peran korupsi pada pembangunan. Pertama, korupsi berperan sebagai grease the wheels yang menggerakkan dan menumbuhkan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang kurang optimal karena kurang efisiennya peraturan yang ada dilancarkan oleh korupsi. Kedua, korupsi menjadi sand the wheels karena mencegah efisiensi produksi dan inovasi, sehingga ekonomi tumbuh tidak optimal. Studi terbaru menunjukkan peran kedualah yang dominan. Korupsi dalam jangka panjang berdampak kumulatif dengan turunnya GDP sebesar 17% ketika persepsi terhadap korupsi pada sebuah negara nya naik (Gründler dan Potrafke, 2019). Dampak negatif ini dikuti dengan menurunnya investasi dari luar negeri dan meningkatnya inflasi.

Memulihkan Kepercayaan

            Kepercayaan merupakan kondisi psikologis dimana kerentanan masih bisa diterima karena memiliki ekspektasi positif akan niat dan tindakan pihak lain. Dalam konteks pemerintahan, publik percaya bahwa pemerintah senantiasa berusaha memberikan kemakmuran dan keadilan bagi Indonesia. Pelanggaran kepercayan terjadi bilamana ekspektasi positif tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

            Pelanggaran kepercayaan akan menciptakan krisis. Terdapat 4 tahapan krisis menurut crisis life cycle theory (Fink, 1986). Pertama adalah Prodromal, ketika peristiwa pelanggaran terjadi dan terakumulasi. Pelaporan akan transaksi tidak wajar sejak tahun 2009 dan melibatkan lebih dari 460 pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan masuk dalam tahapan ini. Namun tindak lanjut laporan tersebut belum terlihat dampaknya. Tahapan selanjutnya adalah Akut, ketika perhatian semakin luas dan terjadi dalam waktu yang singkat. Diawali peristiwa pengeroyokan, perhatian publik terfokus pada flexing pelaku yang notabene putra pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan. Hanya dalam waktu singkat, beragam kekayaan dan transaksi tidak wajar mulai terekspos oleh dan kepada publik. Hasilnya, publik semakin perhatian akan flexing yang selama ini dilakukan dalam media sosial oleh pejabat pemerintahan dan keluarganya. Tahapan ketiga adalah Kronis, ketika pendekatan yang digunakan efektif sehingga dampak dari krisis mulai melemah, meskipun memerlukan waktu yang panjang. Terakhir, tahapan Terminasi dengan berangsur hilangnya dampak dari krisis yang terjadi. Namun, antisipasi kehadiran krisis baru di masa datang tetap harus dilakukan.

            Untuk memulihkan kepercayaan, terdapat 3 pendekatan yang ditawarkan oleh Xie dan Peng (2010). Pertama, pendekatan Afektif seperti menunjukkan perhatian pada pihak yang terdampak atas pelanggaran yang terjadi, menyampaikan permohonan maaf dan pengakuan pada publik, maupun berjanji untuk tidak mengulangi pelanggaran tersebut. Kedua, pendekatan Informasional dengan mengkomunikasikan kepada publik kenapa pelanggaran tersebut terjadi, mengklarifikasi rumor yang tidak benar, dan membuka informasi yang sebenarnya. Ketiga, pendekatan Fungsional melalui pemberian kompensasi pada pihak yang kepercayaannya dilanggar. 

            Riset terbaru yang dilakukan oleh Zhang dkk. (2021) menunjukkan bahwa pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan tahapan krisis yang dialami. Pada tahapan Akut, pendekatan yang efektif adalah Afektif. Pendekatan ini akan melegakan sentimen negatif publik pada krisis yang terjadi. Ketika krisis memasuki tahapan Kronis, pendekatan yang perlu dilakukan adalah Informasional. Ketika publik hilang kepercayaan pada organisasi, menyajikan informasi-informasi yang diminta akan efektif dalam mengurangi krisis yang terjadi. Tahapan Terminasi akan efektif bila menggunakan pendekatan Fungsional. Pemberian kompensasi kepada yang terdampak, perbaikan prosedur dan mekanisme pengawasan, maupun mitigasi resiko akan krisis di masa depan; dapat dilakukan agar krisis lekas berakhir dan tidak akan terulang di masa datang.  

Rekomendasi

Krisis kepercayaan publik pada pemerintah menjadi keprihatinan bersama. Apalagi banyak studi empiris menunjukkan dampak negatif yang ditimbulkan, khususnya terhadap sosial dan ekonomi bangsa. Dibutuhkan upaya yang terstruktur, sistematis, dan masif; agar kepercayaan publik pada pemerintah dan aparaturnya segera pulih. Pemulihan tersebut akan optimal bila pendekatan yang digunakan sesuai dengan tahapan krisis yang dialami. Pendekatan Afektif tepat digunakan pada tahapan Akut, pendekatan Informasional tepat pada tahapan Kronis, sedangkan pendekatan Fungsional tepat untuk mengakhiri krisis.

Tentu mencegah terjadinya krisis kepercayaan sangatlah penting dilakukan. Tugas ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah dan aparaturnya, namun semua anak bangsa. Bersama-sama secara proaktif memulihkan dan menjaga kepercayaan sosial bangsa. Jangan sampai kita kehilangan momentum untuk menjadi negara maju tahun 2045 karena kurangnya kepercayaan publik, baik interpersonal maupun institutional trust. Pertumbuhan ekonomi akan kurang optimal, dan ancaman middle income trap menjadi nyata. Tugas pemimpin bangsa, baik saat ini maupun yang akan datang, adalah menjadikan Indonesia menjadi high trust society sebagai fondasi dasar kemajuan bangsa.