TANTANGAN DEMOKRASI DAN SUPREMASI AKAL SEHAT
Agus Harimurti Yudhoyono
Mahasiswa S3 Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM)
Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
https://pasca.unair.ac.id/
Harian Rakyat Merdeka Online – 30 Desember 2021
https://rm.id/baca-berita/parpol/106377/tantangan-demokrasi-dan-supremasi-akal-sehat
Di penghujung tahun 2021 ini, menjadi penting dan relevan bagi kita untuk merefleksikan kembali perjalanan demokrasi. Tahun ini kita awali dengan semangat kebersamaan sesama anak bangsa, untuk saling bahu membahu agar negara bangkit dari pandemi Covid-19.
Di satu sisi, kondisi itu menuntut para aktor demokrasi, baik yang berada di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, untuk bersatu padu dan saling menguatkan guna menyelamatkan nyawa rakyat dan ekonomi negara yang tertekan akibat resesi.
Di sisi lain, pandemi juga mendorong terciptanya resesi demokrasi. Sebagaimana telah diantisipasi oleh Transparency International (2020), yang kemudian dikonfirmasi oleh laporan Freedom House (2020) dan Economist Intelligence Unit (2021), bahwa pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan global, tetapi juga berimplikasi pada merosotnya kualitas demokrasi dunia. Termasuk, Indonesia.
Bahkan dalam laporan terakhir Economist Intelligence Unit, tren penurunan kualitas demokrasi telah membuat Indonesia dimasukkan dalam kategori “flawed democracies” atau negara demokrasi yang cacat. Hal itu ditandai oleh sejumlah indikator penting, khususnya terkait variabel kebebasan sipil dan kultur politik.
Praktik eksploitasi politik identitas seolah terjaga dan semakin bersenyawa dengan realitas digital democracy yang memfasilitasi hadirnya fenomena buzzer, para benalu demokrasi, yang menguatkan ancaman post–truth politics.
Di saat yang sama, pandemi juga dipandang memfasilitasi terjadinya resentralisasi kekuasaan yang semula ditujukan untuk mengefektifkan pengambilan kebijakan publik, namun seringkali dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan ekonomi-politik predatorik.
Hadirnya kekuatan predatorik yang memanfaatkan melemahnya pilar-pilar demokrasi di tahun 2021 ini juga sangat dirasakan oleh Partai Demokrat. Di tahun ini, Demokrat menjadi korban praktik politik kotor yang menabrak etika politik dan menghina norma demokrasi yang bermoral dan berkeadaban.
Munculnya upaya pengambilalihan kepemimpinan partai secara ilegal dan inkonstitusional, yang dilakukan oleh oknum yang sampai saat ini masih berada di kekuasaan, merupakan insiden dan pelajaran penting yang selamanya akan tercatat dalam sejarah perkembangan demokrasi Indonesia modern.
Oknum itu tidak malu-malu menggunakan kekuasaan dan sumber daya yang dimilikinya, untuk menjalankan politik fitnah, menjual harapan kosong lewat kebohongan akan janji-janji uang dan jabatan, menyiapkan tim buzzer untuk memanipulasi kebenaran di ruang digital, hingga klaim memiliki “restu intervensi” kekuasaan.
Dalam ruang demokrasi Indonesia yang kian matang dan terbuka ini, operasi politik keji semacam itu disiapkan dengan sadar, oleh mereka yang berpendidikan tinggi, yang semestinya tahu tata cara dan etika demokrasi, paham konstitusi, undang-undang, dan pranata hukum yang didasarkan pada nilai-nilai moral, kebenaran dan keadilan.
Bahkan, kebohongan dan manipulasi kebenaran itu terus mereka perjuangkan hingga titik darah penghabisan. Tampak betul mereka meyakini strategi post-truth politics, dimana kebohongan yang terus diulang-ulang akan menjelma menjadi kebenaran baru (Fettes, 2020; Farkas dan Schou, 2020).
Namun demikian, potret kelam perjalanan demokrasi Indonesia di tahun 2021 itu masih menyisakan secercah harapan dan optimisme bagi kita para pecinta demokrasi di Tanah Air. Namun demikian, potret kelam perjalanan demokrasi Indonesia di tahun 2021 itu masih menyisakan secercah harapan dan optimisme bagi kita para pecinta demokrasi di Tanah Air.
Kami bersyukur, gerakan inkonstitusional itu berhasil ditumpas oleh kesetiaan, jiwa ksatria, dan kebulatan tekad seluruh elemen bangsa, yang termanifestasi ke dalam dua hal dasar. Pertama, besarnya dukungan publik yang mengindikasikan kuatnya sensitivitas dan kesadaran demokrasi masyarakat. Dukungan itu mengalir deras dari sahabat-sahabat elit dan kader partai politik lain, elemen masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, aktivis, mahasiswa, hingga para pedagang kaki lima, sahabat-sahabat difabel, serta komunitas lintas-agama. Sangat mengharukan dan menakjubkan.
Gelombang dukungan itu kami maknai sebagai indikator masih kuatnya “akal sehat rakyat” yang tanpa lelah menjaga arah demokrasi yang kita perjuangkan selama ini. Fenomena itu seolah mengingatkan kita pada konsep klasik “modal sosial” (social capital) yang dinilai sosiolog Robert Putnam (1967) sebagai faktor terpenting bagi pembangunan demokrasi, khususnya di negara-negara berkembang.
Masyarakat diyakini memiliki virtue dan standar nilai yang genuine untuk mengkonseptualisasikan kebenaran dan mengekspresikan sikap politiknya. Jika modal sosial itu kian ditopang dengan kualitas literasi politik yang semakin memadai, maka demokrasi Indonesia akan semakin matang.
Sebaliknya, tanpa modal sosial dan literasi politik yang memadai, demokrasi Indonesia berpotensi dibajak oleh kekuatan predatorik, tak mengenal etika dan berkarakter ‘Machiavelistik’. Jika itu terjadi, maka relasi kuasa oligarki akan semakin mengokohkan hegemoni.
Karena itu, spirit kebebasan sipil (civil liberties) yang selama ini dirawat oleh kekuatan simpul-simpul masyarakat sipil (civil society) tidak boleh dibiarkan terfragmentasi, terdiaspora, apalagi dilemahkan di negeri ini. Membiarkan rapuhnya pilar-pilar demokrasi itu sama halnya dengan menggadaikan nasib bangsa di masa mendatang.
Kedua, optimisme masa depan demokrasi Indonesia juga ditopang oleh masih adanya harapan tegaknya hukum dan aturan di negeri ini, baik yang dijalankan oleh pemerintah (KemenkumHAM) maupun sistem peradilan yang ada (MA, PTUN, PN, dan lainya).
Faktor supremasi hukum ini sangat penting, mengingat demokrasi tidak semestinya sekadar dimaknai sebagai hadirnya sistem Pemilu dan kebebasan sipil, melainkan juga mensyaratkan adanya supremasi hukum yang menjadi pilar utama bagi terjaganya rasa keadilan publik dan stabilitas politik di akar rumput.
Karena itu, ke depan, peningkatan kualitas transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum yang mampu memenuhi harapan keadilan rakyat, menjadi agenda besar yang harus kita kawal bersama.
Ke depan, agenda pembangunan demokrasi Indonesia harus diorientasikan pada ikhtiar bersama seluruh anak bangsa untuk membangun sumber daya manusia dan pekerja demokrasi yang unggul, berintegritas dan berkarakter.
Ini adalah tanggung jawab lintas generasi. Jika tidak, praktik-praktik politik predatorik akan terus menghantui dan merendahkan kualitas demokrasi kita. Partai Demokrat hanya sebuah nama.
Jika tidak diantisipasi bersama, praktik politik kotor para predator dan benalu demokrasi itu bisa menyasar partai-partai politik lain, yang sejatinya juga dilindungi oleh konstitusi. Demokrasi tidak boleh dijalankan secara serampangan, apalagi dengan menabrak logika “akal sehat rakyat”.
Siapa yang berani melukai rasa kebenaran, keadilan dan kemanusiaan, maka rakyat akan bangkit dan bersatu melawannya. Itulah rumus demokrasi yang sehat.
Follow Sosial Media Sekolah Pascasarjana Unair =
(Instagram, YouTube, Facebook, LinkedIn, Twitter, Spotify, TikTok)
https://pasca.unair.ac.id/digital-platform/